Kaos Politik Heboh, Anak Tewas Sembako Politik Senyap

Kembali anak menjadi korban politik manusia dewasa. Belum hilang kehebohan ketika anak dikorbankan oleh kepentingan politik orangtuanya. Ketika ibu berkaos tagar politik mengajak anak dalam memaksa masuk kerumunan ribuan manusia dewasa sedang aksi “perang” kaos politik bertagar. Kembali masyarakat Indonesia terhenyak ketika 2 anak miskin Indonesia yang malang meninggal dunia hanya karena ingin berjuang mendapatkan sembako seliter minyak atau sekilo beras.

Acara yang hanya berijin parade budaya itu, berubah menjadi”Sembako Politik” yang menghadirkan 300 ribu rakyat Jakarta yang tidak mampu, berebutan sebungkus sembako di terik mata. Uniknya, para tokoh Indonesia, artis dan sebagian pendukung kelompok tertentu mengutuk keras kasus anak yang menangis ketika dipaksa ibunya memasuki panasnya perang kaos politik bertagar untuk segera diusut polisi. Kali ini tidak ada yang bersuara keras ketika anak malang dan miskin itu tewas mengenaskan sebelum mendapatkan seikat sembako yang diinginkannya. Tragisnya polisi dengan cepat sekali memutuskan bahwa korban bukan peserta aksi “sembako politik” itu. Beberapa pengamat mengatakan hal inj adalah salah satu bentuk ketidak keadilan hukum, ekonomi dan sosial di Indonesia yang membuat sebagian umat semakin geram, tetapi sebagian rakyat justru diam “membela”.

Tampaknya dari berbagai ucapan dan perilaku berbagai pejabat, elit dan masyarakat muncul keanehan demi keanehan. Dua anak malang warga Pademangan, Jakarta Utara dilaporkan menjadi korban tewas di acara pembagian sembako yang dilaksanakan panitia dari Forum Untuk Indonesia di Lapangan Monumen Nasional (Monas), Sabtu (28/4). Pada saat acara pembagian sembako itu, jumlah massa membludak. Pada akhirnya Monas dikunjungi lebih dari 350 ribu dan tentunya karena tidak ada koordinasi akhirnya macet luar biasa sehingga lalu lintas sama sekali tidak bergerak. Tetapi acara yang tidak berijin itu bisa dibayangkan persiapan keamanan bagi peserta penerima sembako yang hanya rakyat kecil. Si Ibu korban menceritakan kronologisnya bahwa saat mengantri anaknya terinjak injak tidak ada yang membatu menyelamatkan. Tetapi tampaknya sebagian rakyat tidak mempercainya . Rakyat lebih percaya Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono yang dengan cepat tanpa investigasi dan pemeriksaan menyatakan dua anak tersebut tidak meninggal karena berdesak-desakan di acara bagi-bagi sembako. Alasannya sederhana polisi menyatakan anak tidak meninggal karena pembagian sembako karena ditemukannya di luar pagar. Argopun menyatakan , setelah diperiksa dokter, Mahesa dinyatakan meninggal dunia. Mahesa diduga meninggal karena suhu badan tinggi dan dehidrasi. Anehnya, pengacara korban mengatakan saat diminta surat kematian atau sertifikat kesehatan dari Rumah Sakit. Kolom penyebab kematian dikosongkan. Keanehan lain, saat lanitia memeberikan uang santunan pada ibu korban sambil berpesan untuk tidak menceritakan hal itu pada siapapun.

Sembako Politik dan Penyalah Gunaan Ijin ?

Beberapa kali Wagub Sandiaga menyatakan bahwa pelaksana kegiatan bagi bagi sembako yang dilakukan Organisasi Forum Untukmu Indonesia (FUI) telah melanggar begitu banyak aturan. Termasuk Peraturan Gubernur Nomor 186 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Nomor 160 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Kawasan Monumen Nasional. Padahal sejak awal izin panitia kepada Pemprov DKI menggunakan Monas untuk parade budaya. Tetapi berubah jadi pembagian sembako. Pembagian sembako itu tidak diperkenankan dalam pergub. Peraturan tentang ketentraman dan ketertiban, banyak sekali yang dilanggar. Tetapi inipun tidak dipercaya sebagian rakyat. Bahkan bukannya meyalahkan panitia sekarang ada tendensi wagub dan pemprov DKI yang disalahkan. Ujung ujungnya Ketua Panitia mengakui kalu ijin pasar murah tidak diperbolehkan tetapi mendadak diganti bagi bagi sembako. Tampaknya inilah yang menjadi awal bencana. Saat 350 ribu rakyat miskin Jakarta tergiur sembako gratis, berduyun duyun ke Monas tanpa dipersiapkan dengan baik. Karena keamanan tidak memadai tidak bisa mencegah bencana bagi rakyat miskin yang berebutan berkah dari orang kaya. Pertandingan sepakbola yang berpenontin 35 ribu saja diamankan berpeleton peleton polisi. Tapi 350 ribu rakyat lapar berebutan rezeki, hanya diamankan segelintir keamanan. Bukan hanya monas dan sekitarnya macet total. Bukan hanya menyisakan sampah 70 ton menggunung. Tetapi yang paling mengenaskan panitia tidak bisa mencegah tewasnya dua anak manusia yang lemah dan malang berebutan sebungkus sembako dengan manusia dewasa.

Salah satu pengurus Dewan Pimpinan Pusat Partai Amanat Nasional Chandra Tirta Wijaya mengatakan kegiatan bagi-bagi sembako itu kental aroma politik. Syahganda Nainggolan mengatakan Ketua Forum Untukmu Indonesia (FUI) Dave Revano Santosa adalah fans Presiden Jokowi. Dia pun menyebut bantuan yang diberikan FUI kepada warga miskin di Monas adalah untuk kepentingan sang idola.”Jadi si Dave itu Jokowers berat. Semua jejak digital mengatakan dia adalah Jokowi berat, pro-Jokowi, lembaga yang terkait dengan kegiatan pro-Jokowi. Saya imbau kepada orang-orang yang baik dari sisi pro-Jokowi atau anti-Jokowi, kita nggak boleh manipulasi bantuan,” kata Syahganda. Tetapi benarkah tuduhan tuduhan tersebut, rakyat cerdas yang akan menilai.

Tragisnya Komariyah ibu korban yang baru ditinggal mati suaminya itu mendatangi Bareskrim Polri. Si Ibu tidak didampingi para elit politik seperti saat mendampingi ibu berkaos tagar. Sambil menjerit dan menangis histeris, meminta agar Presiden Joko Widodo turun tangan mengusut kasus kematian anaknya yang meninggal saat berdesak-desakan. “Saya orang kecil, saya orang miskin. Tolong agar jangan berhenti diusut tuntas. Kasihan saya Pak Presiden, saya orang kecil,” kata ibu korban di Bareskrim Polri, Gedung KKP, Gambir, Jakarta Pusat, Rabu (2/5). Tragisnya, meski sudah mengorbankan nyawa dengan terinjak injak dalam antrian, ternyata sembako yang diburu belum didapatkannya. Saat sebelum ajalpun si anak dengan memelas minta makan pada ibunya, karena dari pagi belum sarapan. Tapi ibu tidak kuasa memberikan makanan siang pada anaknya.

Ibu berkaos Tagar Heboh

Uniknya berita tewasnya dua anak malang itu beritanya hampir tertutupi oleh kasus Ibu berkaos #diasibukkerja. Saat menyikapi ibu berkaos itu, para tokoh nasional seperti JK, Mahfud MD, Menteri Wiranto, dan para elit politik pendukung pemerintah dan artis atau rakyat para pendukung penguasa lainnya langsung bereaksi keras, cepat dan berlebihan. Dengan cepat dan emosi tinggi langsung bak manusia paling suci memvonis pelaku sebagai tindakan biadab, barbar, persekusi, tindakan memalukan, intimidasi atau kejahatan politik besar lainnya. Bahkan Mahfud MD di twitter dengan geram mengatakan menangis hatinya melihat tindakan itu. Para politisipun dengan semangat bak pendekar keadilan mengantar seorang ibu yang berubah berkerudung ke polisi untuk memproses hukum kehajatan politik di bundaran HI itu. Menko Polkampun bak menteri yang paling peduli keadilan segera dengan cepat dan tegas agar kasus itu harus diselesaikan dan polisi segera bertindak. Hampir semua elit politik pendukung pemerintah berteriak keras bahwa pelaku harus segera diadili. Ternyata, artis komedian Ati Kritingpun mengatakan bahwa pelaku melakukan tindakan barbar. Ustadz abu Janda dalam video pendeknya mengatakannlabih anehnlagi bahwa tindakan itu bentuk terorisme. Bukan hanya berbagai komentar dan hujatan di medis sosial bertebaran bahwa pelaku kipas kipas duit tindakan biadab, vandalisme, premanisme, tindakan memalukan, persekusi, anti Pancasila, radikal, dan berbagai kejahatan besar lainnya.

Indonesia Jadi Senyap

Tetapi ternyata ketidak keadilan sosial dan hukum itu bukan hanya milik penguasa. Para tokoh nasional, pejabat dan elit parpol dan para pendukung penguasa itu sekejap mendadak menutup mata dan telinga ketika ada dua anak Indonesia meninggal sia sia karena keteledoran panitia. Media masa mainstream baik media cetak dan telivisi pendukung kelompok tertentu berubah berbalik arah. Media tersebut yang setiap hari dan setiap jam rajin sekali mengangkat isu intimdasi ibu berkaos secara berlebihan, berubah jadi bungkam. Hanya televisi TVOne saja yang dengan cermat dan tajam mengupas kasus yang tidak berkeadilan itu hingga dalam. Mengapa media mainstream jadi senyap ?

Bukan hanya itu, Polisipun dengan cepat dan terburu buru sudah memastikan bahwa korban bukan peserta yang ikut pembagian sembako. Keanehan demi keanehan pun terjadi. Mengapa mereka begitu cepat dan garang memvonis pelaku biadab, barbar, radikal, anarkis dan pelaku kejahatan politik terbesar dan kata yang menyeramkan. Tetapi mendadak bisu saat nyawa 2 anak Indonesia yang lemah dan tidak berpunya bergelimpangan. Mana rasa amarah dan tangisan mahfud MD ? Mana perintah menkopolkam agar panitia pelaksana segera diproses polisi ? Mana emosi para artis dan manusia pendukung manusia yang pernah berteriak kencang tentang bar bar dan biadab itu ? Umat menanti hujatan dan twitter yang garang itu ? Umat menunggu hujatan ustadz Abu Janda yang berteriak paling keras itu ? Mereka semua mendadak diam, tiarap dan menutup mata, mulut atau telinga rapat rapat. Mereka semua mendadak lidahnya jadi kelu tidak berucap sedikitpun. Tangannya jadi kaku tidak berani menyentuh keyboard sedikitpun untuk berkomentar mengkritisi keteledoran pelaku dalam melindungi hak anak di medsos. Mengapa mereka semua jadi senyap, saat seorang janda separuh baya yang ringkih tidak mampu melindungi anaknya yang kemah dalam berebut keganasan manusia Jakarta yang kelaparan berburu sembako yang tidak seberapa itu.

Tampaknya politik telah merasuki kepala manusia Indonesia demikian hebat. Sehingga otak manusia terbelah jadi berstandard ganda. Saat pelaku adalah kaum yang berseberangan dengan penguasa, maka emosi dan amarah terbakar berlebihan dihunjamkan. Tetapi jika pelaku adalah kelompok pendukung penguasa, maka mata hati, telinga dan mata jadi tertutup kabut tebal dan sangat tebal. Ketika pelaku berbeda keyakinan politik, setiap hari twitter bercuit kencang. Tetapi saat tahu pelaku adalah sama idola politiknya maka jagad medsos jadi sunyi senyap komentar. Saat ketua panitia kegiatan itu adalah mantan Tim Relawan Jokowi maka twitter dan FBpun jadi bisu.

Otak politik ternyata membius manusia. Nalar politik terbukti mematikan sensoris rasa perikemanusiaan dan sensoris rasa moralitas manusia. Rasio politik ternyata membuat otak dipaksa mengatakan yang haram jadi halal. Pola pikir politik membuat kemunafikan sikap dan ucap. Pengaruh politik membuat nyawa dua anak manusia Indonesia yang kurang beruntung meninggal sia sia dianggap hal biasa. Keberpihakan politik memaksa sikap manusia untuk membuat yang miskin semakin terpuruk dan dianggap bukan manusia.

Akankah panitia pembagian “Sembako Politik” yang ceroboh sehingga mengorbankan nyawa anak Indonesia yang sedang kelaparan sembako itu terus bersembunyi di ketiak penguasa ? Panitia yang seharusnya bertanggung jawab, kesalahanpun difitnahkan pada Wagub Sandiaga Uno? Apakah nyawa dua anak miskin dan tidak punya itu demikian tidak berharga di mata mereka ? Ketika virus politik mencemari manusia maka otak dan akal sehatpun berstandar ganda. Ketika nalar politik memanipulasi keberpipakan akal sehatpun terjadi. Saat berbeda idola maka kesalahan kecilpun menjadi besar. Mata dan telinga terbuka lebar, mulut berteriak kencang menyeramkan dan Indonesiapun terguncang. Ketika sepaham politik, maka mata, telinga dan otakpun tertutup rapat. Para pejuang keadilan dan pejuang demokrasi itupun mendadak tiarap. Kesalahan besar jadi samar dan Indonesiapun mendadak senyap. Ibu Berkaos Politik Heboh, Anak Tewas Bersembako Politik Senyap.
from: https://jurnalpolitikus.com/2018/05/04/anak-tewas-korbansembako-politik-mengapa-indonesia-mendadak-senyap/

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama